Marta.com

Selasa, 22 Maret 2011

CLOSTRIDIUM


CLOSTRIDIUM
GAMBARAN UMUM CLOSTRIDIUM
            Kelas Clostridium merupakan kelas bakteri yang memiliki ciri-ciri yakni, bentuk batang pendek, gram positif, anaerob, berspora, letak spora dapat terminal maupun subterminal dan dapat menyebabkant beberapa penyakit diantaranya tetanus (Cl. Tetani), gas gangrene (Cl. Perfringens), botulism dan beberapa spesies menghasilkan toxin menggangu saraf (Cl Botulinum) dan menyebabkan pseudomembran colitis (Cl. Difficile).

CLOSTRIDIUM BOTULINUM PEYEBAB BOTULISM

1.ETIOLOGI 
            1. Morfologi
            Morfologi dari Cl botulinum yakni berentuk batang, berspora oval subterminal, anaerob, motil (flagela peritrikus) dan merupakan bakteri gram negatif. Tipe dari Cl. Botulinum adalah  tipe A, B, C, D, E, dan F. Produksi toxin dapat pada daging kering dengan kadar air kurang dari 30%. Menghasilkan neurotoxin botulin dan pada umumnya ditemukan di tanah. .
            2. sifat biakan
            Di laboratorium Cl. Botulinum dapat diisolasi pada media trytose cycloserine ( TSC), selalu dalam lingkunan anerobik yang mengandung kurang dari 2% oksigen. Cl. Botulinum tidak menggunakan laktosa sebagai sumber karbon utama. Hidup pada pH 4,8-7,
            3. Struktur antigen
            Bakteri ini dikelompokkan menjadi grup I-IV berdasarkan sifaf proteolitiknya dan memiliki tujuh struktur antigen yakni antigen (A-G), serta antigen somatik.

2. PATHOGENESIS
            Cl. Perfringens tipe C dan D menyebabkan botulism pada hewan sedangkan yang lain menyebabkan botulism pada manusia.  Hewan yang rentan adalah unggas, sapi kuda dan beberapa jenis ikan. Bakteri ini menghasilkan racun saraf (neurotoksin botulin). Neurotoksin hanya dihasilkan saat terjadi proses endospora dalam keadaan anerobik. Sporanya tersebar luas di lingkungan, di tanah, udara, debu, dan air laut.
            Infeksi oleh Cl. Botulinum dapat melalui makanan maupun luka. Jika hewan menelan pakan yang terkontaminasi spora Cl. Clostridium dari lingkungan sekitarnya.Setelah tertelan maka akan menghasilkan neurotoksin di dalam usus. Pada hewan Cl. Botulinum yang menginfeksi adalah tipe C dan D, sehingga toxin yang di hasilkan adalah toxin C dan D. Kemudian toxin akan berikatan dengan reseptor pada saraf kolinergik dan memblokade pengeluaran asetikolin. Hal ini akan menggangu sTimulasi gerakan otot sehingga mengakibatkan paralisis. Dalam beberapa saat akan menyebabkan muntah, lemas, kejang, dan akhirnya paralisis sistem respirasi. Infeksi melalui luka biasanya terjadi karena luka tusuk dan mekanismenya sama dengan keracunan pada makanan.

3. GEJALA KLINIS
            Masa inkubasi dari penyakit botulism adala 18-24 hari. Gejala klinis yang timbul adalah, muntah, susah untuk menelan, dan jika toxin yang dihasilkan banyak maka akan mengalami kesulitan bernafas karena paralisis saluran nafas da berakhir dengan kematian.
           
4. DIAGNOSA
            Diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati gejala klinis yang terjadi. Diagmosa dapat diperkuat dengan melakukan uji di laboratorium dengan mengisolasi bakteri. Isolasi dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil spesimen dari feses pasien. Hasil isolasi dapat di isolasi pada hewan percobaat (mencit) Untuk mengetahui tipenya dapat dilakukan uji netralisasi dengan pemberian anti toksin pada mencit atau uji serologi berupa ELISA. Uji netralisai membutuhkan waktu selama 48 jam.
           
5. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
            Spora Cl Botulinum tersebar luas di alam, baik di tanah, air laut, air danau debu dan udara. Pakan ternak sangat mudah terkontaminasi, untuk itu penyimpanan pakan harus diperhatikan.
            Untuk pengobatan dapat diberikan antibiotik penicilin atau metronidazole.dan pemberian antitoksin botulinum.




CLOTRIDIUM PERFRINGENS PENYEBAB GAS GANGRENE
1. MORFOLOGI
            Bentuk batang, berspora subgerminal, brsifat gram positif, non motil, berkapsul  dan tersebar luas di lingkungan bahkan ada di dalam usus manusia dan hewan. Spora terbentuk dalam kondisi yang tidak menguntungkan bagi bakteri.
2. PATHOGENESIS
            Cl. Perfringens masuk ke dalam tubuh hewan melalui makanan. Makanan yang sering terkontaminasi adalah makanan yang didinginkan terlalu lama setelah di masak atau penyimpanan yang terlalu lama. Daging-daging dan kaldu merupakan makanan yang sering terkontaminasi.
            Setelah makanan yang terkotaminasi bakteri masuk ke dalam tubuh maka akan langsung menempel pada reseptor pada usus dan perkembanganya akan menyebabkan kerusakan jaringan intestinal, kemudian bersporulasi, ini terjadi karena usus dalam keadaan asam dan menghasilkan eksotoksin.  Proses patogenesisnya adalah mula-mula spora klostridia mencapai jaringan melalui
kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka (tanah,feses) atau dari saluran usus. Spora berkembang, kemudian sel vegetatif mefementasikan  karbohidrat yang terdapat dalam jaringan dan membentuk gas. Cl. Perfringens Tipe A menghasilkan α toksin yang masuk kedalam membran plasma sel dan mengganggu keseimbangan membran sel serta dapat melisiskan RBC (Red Blood Cell), dan platelet yang akihirnya menggangu fungsi normal sel. Toxin lain Enzim juga dihasilkan yakni, DNase dan Hyaluronidase, yaitu merupakan kolagenase yang mencerna jaringan kulit dan subkutan. Peregangan jaringan dan gangguan aliran darah, bersama-sama dengan sekresi toksin yang menyebabkan nekrois dan enzim hialuronidase, mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis jaringan meluas, memberi kesempatan bakteri terus bekembang, mneyebabkan anemia, berlanjut ke toksekemia dan kematian. Cl. Enterotoxin (CPE) dihasilkan dari sporulasi dan menyebabkan  hipesrekresi jejunum dan illeum serta dehidrasi karena diarre. Masa inkubasinya mencapai 10-12 jam sebelum menimbulkan gejala-gejala keracunan seperti, muntah, mual diare. Tipe C dari Cl. Perfringens juga terlibat dalam terjadinya enteritis nekrotican atau sering disebut Pig-Bel, menghasilkan β toxin ulseratif.
3. GEJALA KLINIS
            Gejala Klinis yang di timbulkan antarala lain : nyeri perut, perus kembung penimbunan gas, diare berat , dehidrasi, syok.
4. DIAGNOSA
            Diagnosa dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis yang ditimbulkan pasien serta dengan diagnosa laboratorium. Pada diagnosa laboratorium dapat digunakan spesimen dari jaringan dengan mengkultur pada Robertson Cooked Meat Medium. Reaksi positif jika memproduksi H2S dan NH3 dan berwarna hitam. Jika pada Blood agar akan menghasilkan β hemolitik. Pada uji biokimia fermentasi karbohidrat, menghasilkan aam dan gas. Pada Nagler Reacton menunjukkan reaksi positif.

5. PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
            Pengobatan dapat diberikan dengan antibiotika. Pemberian kloramfenikol dan tetrasiclin tidak dianjurkan karena resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut Untuk pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari pakan terlalu lama pada suhu kamar yang memberikan peluang bagi organisme untuk berkembang serta memperhatikan sanitasi pakan.

rendah. Transposisi tidak diperlihatkan pada C. perfringens karena kekurangan metode deteksi dengan sensitivitas yang cukup.
Tn4451 berangkai secara sempurna dan mengandung 6 gen. Salah satunya adalah tnpX yang menyandi suatu trans-acting site-spesific recombinase yang bertanggungjawab terhadap pemisahan Tn4451 pada C. perfringens dan E. coli. Protein TnpX mengkatalis pemisahan Tn4451 sebagai molekul sirkuler yang berfungsi sebagai transposisi intermediet. Gen lain yang diawa oleh Tn4451 adalah tnpZ yang menyandikan protein TnpZ 50-kDa yang mempunyai rangkaian asam amino yang mirip dengan kelompok mobilisasi plasmid dan protein rekombinasi.
Johanesen et al. (2001), resistensi C. perfringens terhadap tetrasiklin ditentukan oleh faktor dari plasmid R konjugatif pCW3 yang terdiri dari dua gen yaitu tetA(P) dan tetB(P) yang memperantarai resistensi dengan mekanisme yang berbeda. Analisis transkripsi menunjukkan bahwa gen tetA(P) dan tetB(P) terdiri dari suatu operon yang ditranskrip dari promotor tunggal.
Pencegahan
Metode pencegahan yang sangat populer digunakan terhadap nekrotik enteritis adalah penambahan antibiotik ke dalam pakan ayam, tetapi para produser semakin tertarik kepada pembuatan dan penggunaan bioproduk yang bukan antibiotik. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa uji produk mikroflora dapat lebih cepat dalam mengurangi pengaruh C. perfringens terhadap nekrotik enteritis. Hofacre et al. (1998) telah membandingkan dampak pemakaian bioproduk intestinal (Aviguard®) dengan Virginiamycin dan Bacitracin MD, dimana Avigurd® lebih efektif untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh nekrotik enteritis.
Penggunaan flora normal usus Resistensi C. perfringens terhadap klorampenikol diperantarai oleh gen catD dan catP, dimana keduanya menyandikan klorampenikol asetiltransferase (Lyras et al. 1998). Gen catP terletak pada transposon Tn4451 dan Tn4452. Tn4451 ditemukan pada tetrasiklin konjugatif plasmid pIP401 resisten dan tepat memotong pada konjugatif transfer, dimana kehadirannya ada pada plasmid multicopy C. perfringens dan E. coli. Produk dari kedua potongan adalah identik, yang mengindikasikan bahwa penghilangan yang tepat sama-sama terjadi pada kedua organisme. Transposisi dari Tn4451 sudah dilakukan pada E. coli tetapi hanya terjadi dalam frekuensi yang sangat
 atau probiotik merupakan tindakan alternatif untuk menghindari

1 Komentar:

  • Pada 30 Juni 2014 pukul 17.59 , Blogger Unknown mengatakan...

    Terimakasih, informasi ini sangat bermanfaat bagi saya sebagai referensi KTI ttg bakteri ini. alangkah lebih bagus lagi jika pustakanya dicantumkan, agar referensi ini lebih meyakinkan.

     

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda