Marta.com

Selasa, 22 Maret 2011

CLOSTRIDIUM


CLOSTRIDIUM
GAMBARAN UMUM CLOSTRIDIUM
            Kelas Clostridium merupakan kelas bakteri yang memiliki ciri-ciri yakni, bentuk batang pendek, gram positif, anaerob, berspora, letak spora dapat terminal maupun subterminal dan dapat menyebabkant beberapa penyakit diantaranya tetanus (Cl. Tetani), gas gangrene (Cl. Perfringens), botulism dan beberapa spesies menghasilkan toxin menggangu saraf (Cl Botulinum) dan menyebabkan pseudomembran colitis (Cl. Difficile).

CLOSTRIDIUM BOTULINUM PEYEBAB BOTULISM

1.ETIOLOGI 
            1. Morfologi
            Morfologi dari Cl botulinum yakni berentuk batang, berspora oval subterminal, anaerob, motil (flagela peritrikus) dan merupakan bakteri gram negatif. Tipe dari Cl. Botulinum adalah  tipe A, B, C, D, E, dan F. Produksi toxin dapat pada daging kering dengan kadar air kurang dari 30%. Menghasilkan neurotoxin botulin dan pada umumnya ditemukan di tanah. .
            2. sifat biakan
            Di laboratorium Cl. Botulinum dapat diisolasi pada media trytose cycloserine ( TSC), selalu dalam lingkunan anerobik yang mengandung kurang dari 2% oksigen. Cl. Botulinum tidak menggunakan laktosa sebagai sumber karbon utama. Hidup pada pH 4,8-7,
            3. Struktur antigen
            Bakteri ini dikelompokkan menjadi grup I-IV berdasarkan sifaf proteolitiknya dan memiliki tujuh struktur antigen yakni antigen (A-G), serta antigen somatik.

2. PATHOGENESIS
            Cl. Perfringens tipe C dan D menyebabkan botulism pada hewan sedangkan yang lain menyebabkan botulism pada manusia.  Hewan yang rentan adalah unggas, sapi kuda dan beberapa jenis ikan. Bakteri ini menghasilkan racun saraf (neurotoksin botulin). Neurotoksin hanya dihasilkan saat terjadi proses endospora dalam keadaan anerobik. Sporanya tersebar luas di lingkungan, di tanah, udara, debu, dan air laut.
            Infeksi oleh Cl. Botulinum dapat melalui makanan maupun luka. Jika hewan menelan pakan yang terkontaminasi spora Cl. Clostridium dari lingkungan sekitarnya.Setelah tertelan maka akan menghasilkan neurotoksin di dalam usus. Pada hewan Cl. Botulinum yang menginfeksi adalah tipe C dan D, sehingga toxin yang di hasilkan adalah toxin C dan D. Kemudian toxin akan berikatan dengan reseptor pada saraf kolinergik dan memblokade pengeluaran asetikolin. Hal ini akan menggangu sTimulasi gerakan otot sehingga mengakibatkan paralisis. Dalam beberapa saat akan menyebabkan muntah, lemas, kejang, dan akhirnya paralisis sistem respirasi. Infeksi melalui luka biasanya terjadi karena luka tusuk dan mekanismenya sama dengan keracunan pada makanan.

3. GEJALA KLINIS
            Masa inkubasi dari penyakit botulism adala 18-24 hari. Gejala klinis yang timbul adalah, muntah, susah untuk menelan, dan jika toxin yang dihasilkan banyak maka akan mengalami kesulitan bernafas karena paralisis saluran nafas da berakhir dengan kematian.
           
4. DIAGNOSA
            Diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati gejala klinis yang terjadi. Diagmosa dapat diperkuat dengan melakukan uji di laboratorium dengan mengisolasi bakteri. Isolasi dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil spesimen dari feses pasien. Hasil isolasi dapat di isolasi pada hewan percobaat (mencit) Untuk mengetahui tipenya dapat dilakukan uji netralisasi dengan pemberian anti toksin pada mencit atau uji serologi berupa ELISA. Uji netralisai membutuhkan waktu selama 48 jam.
           
5. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
            Spora Cl Botulinum tersebar luas di alam, baik di tanah, air laut, air danau debu dan udara. Pakan ternak sangat mudah terkontaminasi, untuk itu penyimpanan pakan harus diperhatikan.
            Untuk pengobatan dapat diberikan antibiotik penicilin atau metronidazole.dan pemberian antitoksin botulinum.




CLOTRIDIUM PERFRINGENS PENYEBAB GAS GANGRENE
1. MORFOLOGI
            Bentuk batang, berspora subgerminal, brsifat gram positif, non motil, berkapsul  dan tersebar luas di lingkungan bahkan ada di dalam usus manusia dan hewan. Spora terbentuk dalam kondisi yang tidak menguntungkan bagi bakteri.
2. PATHOGENESIS
            Cl. Perfringens masuk ke dalam tubuh hewan melalui makanan. Makanan yang sering terkontaminasi adalah makanan yang didinginkan terlalu lama setelah di masak atau penyimpanan yang terlalu lama. Daging-daging dan kaldu merupakan makanan yang sering terkontaminasi.
            Setelah makanan yang terkotaminasi bakteri masuk ke dalam tubuh maka akan langsung menempel pada reseptor pada usus dan perkembanganya akan menyebabkan kerusakan jaringan intestinal, kemudian bersporulasi, ini terjadi karena usus dalam keadaan asam dan menghasilkan eksotoksin.  Proses patogenesisnya adalah mula-mula spora klostridia mencapai jaringan melalui
kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka (tanah,feses) atau dari saluran usus. Spora berkembang, kemudian sel vegetatif mefementasikan  karbohidrat yang terdapat dalam jaringan dan membentuk gas. Cl. Perfringens Tipe A menghasilkan α toksin yang masuk kedalam membran plasma sel dan mengganggu keseimbangan membran sel serta dapat melisiskan RBC (Red Blood Cell), dan platelet yang akihirnya menggangu fungsi normal sel. Toxin lain Enzim juga dihasilkan yakni, DNase dan Hyaluronidase, yaitu merupakan kolagenase yang mencerna jaringan kulit dan subkutan. Peregangan jaringan dan gangguan aliran darah, bersama-sama dengan sekresi toksin yang menyebabkan nekrois dan enzim hialuronidase, mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis jaringan meluas, memberi kesempatan bakteri terus bekembang, mneyebabkan anemia, berlanjut ke toksekemia dan kematian. Cl. Enterotoxin (CPE) dihasilkan dari sporulasi dan menyebabkan  hipesrekresi jejunum dan illeum serta dehidrasi karena diarre. Masa inkubasinya mencapai 10-12 jam sebelum menimbulkan gejala-gejala keracunan seperti, muntah, mual diare. Tipe C dari Cl. Perfringens juga terlibat dalam terjadinya enteritis nekrotican atau sering disebut Pig-Bel, menghasilkan β toxin ulseratif.
3. GEJALA KLINIS
            Gejala Klinis yang di timbulkan antarala lain : nyeri perut, perus kembung penimbunan gas, diare berat , dehidrasi, syok.
4. DIAGNOSA
            Diagnosa dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis yang ditimbulkan pasien serta dengan diagnosa laboratorium. Pada diagnosa laboratorium dapat digunakan spesimen dari jaringan dengan mengkultur pada Robertson Cooked Meat Medium. Reaksi positif jika memproduksi H2S dan NH3 dan berwarna hitam. Jika pada Blood agar akan menghasilkan β hemolitik. Pada uji biokimia fermentasi karbohidrat, menghasilkan aam dan gas. Pada Nagler Reacton menunjukkan reaksi positif.

5. PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
            Pengobatan dapat diberikan dengan antibiotika. Pemberian kloramfenikol dan tetrasiclin tidak dianjurkan karena resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut Untuk pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari pakan terlalu lama pada suhu kamar yang memberikan peluang bagi organisme untuk berkembang serta memperhatikan sanitasi pakan.

rendah. Transposisi tidak diperlihatkan pada C. perfringens karena kekurangan metode deteksi dengan sensitivitas yang cukup.
Tn4451 berangkai secara sempurna dan mengandung 6 gen. Salah satunya adalah tnpX yang menyandi suatu trans-acting site-spesific recombinase yang bertanggungjawab terhadap pemisahan Tn4451 pada C. perfringens dan E. coli. Protein TnpX mengkatalis pemisahan Tn4451 sebagai molekul sirkuler yang berfungsi sebagai transposisi intermediet. Gen lain yang diawa oleh Tn4451 adalah tnpZ yang menyandikan protein TnpZ 50-kDa yang mempunyai rangkaian asam amino yang mirip dengan kelompok mobilisasi plasmid dan protein rekombinasi.
Johanesen et al. (2001), resistensi C. perfringens terhadap tetrasiklin ditentukan oleh faktor dari plasmid R konjugatif pCW3 yang terdiri dari dua gen yaitu tetA(P) dan tetB(P) yang memperantarai resistensi dengan mekanisme yang berbeda. Analisis transkripsi menunjukkan bahwa gen tetA(P) dan tetB(P) terdiri dari suatu operon yang ditranskrip dari promotor tunggal.
Pencegahan
Metode pencegahan yang sangat populer digunakan terhadap nekrotik enteritis adalah penambahan antibiotik ke dalam pakan ayam, tetapi para produser semakin tertarik kepada pembuatan dan penggunaan bioproduk yang bukan antibiotik. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa uji produk mikroflora dapat lebih cepat dalam mengurangi pengaruh C. perfringens terhadap nekrotik enteritis. Hofacre et al. (1998) telah membandingkan dampak pemakaian bioproduk intestinal (Aviguard®) dengan Virginiamycin dan Bacitracin MD, dimana Avigurd® lebih efektif untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh nekrotik enteritis.
Penggunaan flora normal usus Resistensi C. perfringens terhadap klorampenikol diperantarai oleh gen catD dan catP, dimana keduanya menyandikan klorampenikol asetiltransferase (Lyras et al. 1998). Gen catP terletak pada transposon Tn4451 dan Tn4452. Tn4451 ditemukan pada tetrasiklin konjugatif plasmid pIP401 resisten dan tepat memotong pada konjugatif transfer, dimana kehadirannya ada pada plasmid multicopy C. perfringens dan E. coli. Produk dari kedua potongan adalah identik, yang mengindikasikan bahwa penghilangan yang tepat sama-sama terjadi pada kedua organisme. Transposisi dari Tn4451 sudah dilakukan pada E. coli tetapi hanya terjadi dalam frekuensi yang sangat
 atau probiotik merupakan tindakan alternatif untuk menghindari

INAKTIVASI VIRUS DI LABORATORIUM


I.                  PENDAHULUAN

1.1 INAKTIVASI VIRUS DI LABORATORIUM
Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis. Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi sendiri. Dalam sel inang, virus merupakan parasit obligat dan di luar inangnya menjadi tidak mampu melakukan metabolisme.
Biasanya virus mengandung sejumlah kecil asam nukleat (DNA atau RNA, tetapi tidak kombinasi keduanya) yang diselubungi semacam bahan pelindung yang terdiri atas protein, lipid, glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Genom virus menyandi, baik protein yang digunakan untuk memuat bahan genetik maupun protein yang dibutuhkan dalam daur hidupnya. Dalam upaya mengurangi serangan penyakit karena virus perlu diberikan vaksin inaktif atau pemberian antivirus yang di buat dengan perlakuan laboratorium.
 
II. PEMBAHASAN

2.1 VAKSIN INAKTIF
Dasar dari pembuatan vaksin inaktif dengan perlakuan laboratorium adalah usaha untuk merusak kemampuan replikasi virus tetapi antigen yang berkaitan dengan penyebab penyakit masih terpelihara sifat antigeniknya.  Vaksin ini berasal dari virus yang dimatikan, dibuat dengan memurnikan sediaan virus dalam jumlah tertentu, kemudian menon-aktifkan infeksi virus dengan cara meminimalkan kerusakan yang ditimbulkannya pada protein struktural virus, biasanya digunakan formalin ringan.
Vaksin virus yang dimatikan yang dipreparasi dari keseluruhan virion untuk menstimulasi pembuatan antibodi yang beredar untuk melawan protein selubung virus, sehingga menghasilkan beberapa derajat resistensi. Untuk beberapa penyakit saat ini hanya tersedia vaksin virus yang mati. Vaksin ini biasanya di-peroleh dengan menginaktivasi virus yang dibiakkan dalam baby hamster kidney atau bovine tongue epithelial cells.
Keuntungan dari virus yang diinaktivasi adalah bahwa tidak ada pembalikan virus vaksin menjadi virulen dan bahwa vaksin bisa dibuat jika tidak tersedia virus yang dapat dilemahkan yang dapat diterima.
Vaksin yang diperoleh dengan inaktivasi ini juga mempunyai beberapa masalah. Vaksinasi memerlukan jumlah antigen lebih besar dan jumlah fragmen sel (yang tidak bersifat antigenik) selain antigen juga besar, sehingga jika ada substansi toksik dalam fragmen tersebut akan dapat menimbulkan masalah toksisitas. Untuk inaktivasi, organisme tersebut memerlukan perlakuan relatif keras supaya inaktivasi dapat sempurna, kondisi tersebut dapat merusak antigen. Aplikasi vaksin ini juga biasanya lebih rumit daripada vaksin hidup, karena harus diberikan dengan injeksi, sedangkan vaksin hidup dapat diberikan peroral atau intranasal.Selain itu kekebalan yang diinduksi oleh vaksin yang dimatikan biasanya berlangsung dalam waktu relatif singkat. Kondisi penyimpanan kadang-kadang juga menjadi masalah, misalnya pada foot dan mouth disease.
Vaksin ini efektif tetapi perlu disimpan pada temperatur dingin, sehingga kurang sesuai untuk negara tropis. Prinsip yang penting pada pembuatan vaksin ialah metode inaktivasi harus memusnahkan infektivitas organisme, tetapi sifat antigeniknya harus tidak berubah.

2.2 ANTIVIRUS
Virus merupakan parasit intaseluler obligat sehingga agen antivirus harus mampu menghambat fungsi virus secara selektif tanpa merusak inang. Membuat obat tersebut sangat sulit. Lebih jauh lagi obat yang ideal seharusnya mengurangi gejala- gejala penyakit tanpa banyak mengubah infeksi virus untuk mencegah reaksi imun pada penderita.
Dibutuhkan obat- obat antivirus yang aktif melawan virus dimana vaksin tidak tersedia atau tidak efektif disebabkan oleh keragaman serotipe (misalnya rhinovirus) atau karena perubahan virus yang terus menerus (misalnya influenza, HIV). Antivirus dibutuhkan untuk mengurangi morbiditas dan kerugian ekonomis yang disebabkan oleh infeksi virus dan untuk mengurangi penambahan jumlah pasien.
Penelitian virologi molekuler berhasil mengidentifikasi fungsi-fungsi spesifik virus yang dapat menjadi target terapi antivirus. Tahap yang paling dapat diterima sebagai target dalam infeksi virus meliputi penempelan virus pada sel inang, pelepasan mantel genom virus, transkripsi reversi pada genom virus tertentu, penganturan transkripsi virus,replikasi asam nukleat virus, penerjemahan protein virus, dan yang masih diperdebatkan, maturasi serta pelepasan partikel virus keturunan. Dalam kenyataanya, sangat sulit untuk membuat antivirus yang dapat memisahkan virus dari proses replikasi inang.
Kebanyakan antivirus hanya dapat dipakai pada situasi yang terbatas dan bersifat toksik pada penderita. Mekanisme kerja antivirus sangat beragam. Kadang-kadang obat harus diaktivasi oleh enzim-enzim di dalam sel sebelum dapat bekerja sebagai penghambat replikasi virus, obat yang paling selektif diaktivasi oleh enzim yang dikode oleh virus didalam sel yang terinfeksi.
Di masa depan, penting untuk mempelajari bagaimana meminimalkan terjadinya varian virus yang resisten terhadap obat dan merancang antivirus yang lebih spesifik yang berbasis tinjauan molekuler pada sturktur dan replikasi pada kelas agen yang berbeda.


Beberapa bahan antivirus dapat digolongkan menjadi:
1.     Bahan Nukleotropik/ Analog Nukleosida
  Kebanyakan agen antivirus yang tersedia adalah analog nukleosida. Kebanyakan dari mereka terbatas aktivasi penghambat untuk melawan herpesvirus atau HIV. Analog-analog menghambat replikasi asam nukleat dengan cara menghambat enzim metabolisme untuk membentuk purin atau pirimidin atau dengan cara menghambat polimerase untuk replikasi asam nukleat. Selain itu, beberapa analog bergabung ke dalam asam nukleat dan memblokir sintesa lebih lanjut atau merubah fungsinya.
Analog dapat menghambat enzim seluler seperti juga enzim penanda virus. Tipe-tipe baru analog dapat menghambat enzim penanda virus secara spesifik dengan hambatan minimal pada enzim inang yang mirip. Varian-varian virus yang resisten terhadap obat biasanya lambat laun meningkat, kadang-kadang pesat. Pemakaian kombinasi obat-obat antivirus dapat menunda timbulnya varian resisten (misalnya terapi triple drug yang dipakai untuk mengobati infeksi HIV).
Contoh-contoh analog nukleosida meliputi acyclovir (acycloguanosine), lamivudin (3TC), ribavirin, vidarabin (adenin arabinosida), dan zidovudin (azidothymidine;AZT). Selain itu antivirus bahan nukleotropik juga meliputi: Sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 2600A, Formalin, Asam nitrat, Hidroksilamin

2.     Bahan Proteotropik/ Penghambat Protease    
Saquinavir adalah penghambatan protease pertama yang dibenarkan untuk penatalaksanaan infeksi HIV. Obat ini dirancang menggunakan model komputer sebagai molekul yang sesuai dengan tempat kedudukan aktif dari enzim protease HIV. Obat-obat demikian menghambat protease virus yang dibutuhkan pada tahap lanjut daru siklus replikasi untuk memecah struktur protein virus yang akan membentuk core virion matur dan mengaktivasi reverse transkriptase yang akan dipakai dalam putaran infeksi berikutnya. Penghambatan protease menghasilkan partikel virus yang noninfeksius. Penghambat protease lain adalah indinavir dan ritonavir, sinar ultraviolet degan panjang gelombang 2350A, suhu panas, PH asam, enzim proteotropik seperti tripsin.

3.     Bahan Lipotropik antara lain: berbagai bahan pelarut lemak (ether, alkohol, kloroform,garam empedu, dan lipase).

4.     Bahan yang tidak selektif meliputi: Sinar X, bahan pengakil (etilen oksida, formaldehid, dan glutaraldehid), reaksi fotodinamik.

5.     Jenis Agen Antivirus lain : sejumlah komposisi lain telah terbukti memiliki aktivitas antivirus pada kondisi tertentu.
1)            Amantandine dan rimantadine-Amin-amin sintetis ini secara spesifik menghambat virus influenza A dengan cara memblokir pelepasan selubung virus. Mereka harus diberikan sebagai profilaksi agar mendapatkan efek proteksi yang signifikan
2)            Focarnet (asam fosfonormat,PFA)-Foscarnet, suatu analog organik dari pirofosfat anorganik,merupakan penghambatn selektif polimerase DNA virus dan reverse transkriptase pada kedudukan ikatan pirofosfat.
3)            Methisazone-Methisazone adalah agen yang bersejarah sebagai penghambat virus cacar (smallpox). Methisazone adalah agen antivirus pertama yang mempunyai andil dan dijelaskan pada kampanye eradiksi smallpox.methisazone memblokir tahap lanjut replikasi virus,yang menghasilkan bentuk immatur partikel virus noninfeksius.


2.3 REAKSI VIRUS TERHADAP AGEN FISIKA DAN KIMIA

1.     Suhu dan Temperatur
Sebagian besar virus sangat labil dan dapat hidup diluar tubuh induk semang hanya beberapa jam.  Di dalam laboratorium harus diusahakan agar suspensi virus dan jaringan tubuh yang mengandung virus secepatnya disimpan pada suhu -40°C atau akan lebih bagus pada suhu -70°C. Beberapa virus ada yang stabil pada temperatur kamar serta dapat hidup dalam waktu yang cukup lama. Misalnya virus Pox dan virus Entero.
Pengawetan virus yang terbaik adalah melalui proses pengeringan dalam keadaan beku, yang disebut dengan freeze drying. Kebanyakan virus dapat disimpan berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun pada ampul gelas hampa udara dalam nitrogen cair (-196°C) atau pada suhu -70°C sampai -90°C (untuk virus beramplop).
Material penyakit yang mengandung virus harus ditempatkan dalam tabung tertutup kedap udara bila didinginkan dengan CO2 padat (es kering) untuk menghindari perusakan virus oleh gas CO2. Sejumlah virus dapat diinaktifkan oleh proses pembekuan pencairan (feezing-thawing).
Sebagian besar virus dapat diinaktifkan pada suhu 56°C selama 30 menit atau 100°C selama beberapa detik karena terjadi proses denaturasi virus. Perbedaan ketahanan terhadap suhu panas dipakai sebagai patokan dalam mengklasifikasikan virus. Penambahan garam yang mengandung kation bivalen atau sedikit protein dapat meningkatkan kestabilan virus terhadap temperatur yang tinggi.

2.     Perubahan pH
Secara umum sebagian besar virus tetap hidup pada pH 5-9 akan tetapi virus akan cepat rusak atau inaktif pada pH yang terlalu asam atau terlalu basa. Beberapa perkecualian seperti virus Rhimo akan rusak pada pH 5,3 sedangkan virus Entero tetap aktif pada pH 2,2.
Asam kuat dan basa kuat menyebabkan denaturasi protein virus dan arena itu sangat efektif untuk membasmi virus. Misalnya Natrium hidroksida 2% (caustic soda) digunakan untuk desinfeksi virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

3.     Radiasi Ultraviolet
Sinar matahari langsung mematikan mikroorganisme karena mengandung sinar ultraviolet. Berdasarkan panjang gelombangnya sinar ultraviolet dapat dikelompokkan menjadi: 3150-4000A, 2800-3150A, dan kurang dari 2800A.
Sinar ultraviolet yang kurang dari 2800A, mempunyai efek fermisidal (merusak mikroorganisme) dan dapat menyebabkan peradangan kulit (erythema) dan peradangan mata (conjunctivis).
Sinar ultraviolet 2600A merusak asam inti, sedangkan yang paling panjang gelombangnya 2350A merusak protein virus.
Sinar ultraviolet dengan gelobang pendek, dipakai untuk mensterilkan udara dalam ruangan dan tidak dapat digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme dalam cairan karena mudah diserap oleh bahan-bahan biologic lainnya.



4.     Fomaldehid
Larutan formaldehid, yaitu formalin yang banyak digunakan untuk pembuatan vaksin inaktif. Bahan ini bereaksi terutama dengan mengganti atom H pada gugus amino pada asam inti dan protein. Akan tetapi karena asam inti serabut ganda tidak memiliki gugus amino bebas untuk kontak dengan formalin, maka hanya asam inti serabut tunggal (RNA) yang dapat diinaktifkan dengan formalin.
Pada virus yang asam intinya DNA, inaktifasi oleh formalin terjadi melalui reaksi dengan proteinnya. Gas formalin yang dibuat dengan cara mencampurkan satu liter formalin denagn 660gr KmnO dapat mensterilkan kubik ruangan.

5.     Pelarut Lemak
Virus-virus yang mengandung lemak pada amplopnya dapat diinaktifkan oleh : ether, kloloform, natrium deoksikolat, fosfolifase, dan bahan pelarut lemak lainnya.

6.     Desinfektan
Desinfektan adalah bahan kimia yang digunakan untuk mendesinfeksi  (mensucihamakan). Desinfektan dapat digolongkan menjadi :
a.     Oxidizing agent, yaitu bahan kimia mengosidasikan gugus sulfidril. Misalnya chlor dalam hypochlorat, yodium tincture, hydrogen peroksida, kalium permanganat,dan uap asam.
b.     Alkylating, bahan ini merusak asam inti dan protein dengan mengganti atom H yang bebas pada gugus NH2dan OH. Contohnya formalin (formaldehid) dan glutaraldehid.
c.      Protein denaturat, bahan ini kurang baik untuk desinfektan, karena hanya protein yang berdenaturasi, sedangkan asam inti tetap infeksius. Misalnya alkohol dan fenol. Devirat lipofilik, yaitu insopropil alkohol dan lisol, lebih baik daya kerjanya tetapi kurang efektif dalam membunuh virus-virus yang tidak memiliki amplop.
d.     Nucleieacid denaturat, bahan ini tidak menyebabkan protein rusak, tetapi bereaksi dengan asam inti. Oleh karena itu bahan-bahan resebut sangat cocok untuk pembuatan vaksin inaktif. Contah bahan lain :  Beta propiolakton(BPL), asentil atlenimin(AEI) dan etil etlenimin(EEI). Hanya kekurangannya, bahan tersebut mengeluarkan gas sangat beracun dan menyebabkan kanker, kecuali pada konsentrasi rendah sekali( working solution ) misalnya 1:4000 untuk BPL dan 1:2000 untuk AEI untuk menetralisir sisa EEI dalam vaksin dapat diinaktifkan dengan pemanasan.
e.     Deterjen, terdapat dua deterjen yaitu ionik dan non ionik. Deterjen ionik bereaksi dengan lemak dan struktur polar. Deterjen lebih berguna sebagai pembersih dari pada sebagai desinfektan, walaupun dapat mengaktifkan virus-virus beramplop. Untuk meningkatkan daya penetrasi deterjen dapat dicampur dengan formalin atau glutaraldehid.

7.     Inaktivasi Fotodinamik
Virus-virus dapat memasuki berbagai cairan pewarna vital seperti toulidine biru,merah netral dan proflavine. Cairan pewarna ini mengikat asam nukleat virus dan virus kemudian menjadi rentan terhadap inaktivasi oleh cahaya yang dapat dilihat. Merah netral biasanya digunakan untuk pengujian  plak sehingga plak tersebut tampak lebih jelas. Tempat yang dipakai untuk pengujian harus dillindungi dari cahaya yang terang ketika merah netral telah ditambahkan. Sebaliknya disana ada resiko bahwa keturunan virus akan terinaktivasi dan perkembangan plak akan berhenti.

8.     Agen Antibiotik dan Antibakterial Lain
          Antibiotik bakterial dan sulfonamide tidak berefek terhadap virus. Tetapi, sudah tersedia beberapa obat antivirus. Campuran ammonium quarternary secara efektif melawan virus. Campuran yodium organik juga tidak efektif. Klorin konsentrasi tinggi lebih dibutuhkan untuk menghancurkan virus daripada untuk membunuh bakteri, khususnya dalam munculnya protein asing. Sebagai contoh, perlakuan dengan klorin pada tinja akan adekuat untuk menginaktifkan basil thypoid namun ia tidak adekuat untuk menghancurkan virus poliomyelitis yang ada di feses. Alkohol seperti isopropanol dan ethanol relatif tidak efektif melawan virus tertentu yaitu picornavirus.

2.4 CARA MENGAWETKAN VIRUS
Untuk tujuan penelitian, pembuatan vaksin dan keperluan lainnya, maka virus perlu diawetkan sehingga bisa disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk kualitas partikel virus tidak berubah adalah:
1.Temperatur
Kebanyakan virus tahan hidup selama beberapa hari dalam temperatur 4 C . keuntungan penyimpanan virus dalam suhu ini ialah dapat menghindari proses pembekuan dan pencairan (freeze thawing) suspensi virus yang dapat merusak partikel virus. Untuk menyimpan virus dalam waktu lama  ( berbulan-bulan atau sampai bertahun-tahun) digunakan temperatur -70 C (dalam freezer) atau -196 C (dalam tabung berisi nitrogen cair). Bagi virus-virus yang berada dalam sel ( cell associated) atau  gliserol sampai 50% untuk mengawetkan sel-sel tersebut sehingga virus tetap hidup.
2. Bahan Kimia
a. Jika virus disimpan pada temperatur -70 C, bahan kimia yang dapat dipakai untuk mengurangi kerusakan virus adalah DMSO dengan konsentrasi 10%
b. Bila virus tersebut Cell associated, disamping DMSO 10%, pada media penyimpanan virus ditambahkan pula serum sampai 10% untuk menjaga keutuhan sel.
c. Gliserol sebagai alkohol polihidrat dapat menstabilkan dinding sel dan partikel virus. Pada konsentrasi 50% gliserol digunakan untuk mengawetkan virus pox dan sel epitel yang mengandung virus PMK.
Sulfoxide Dimetil (DMSO) adalah senyawa organosulfur dengan formula (CH 3) 2 SO. DMSO merupakan cairan tak berwarna yang bersifat  polar dan merupakan  pelarut aprotic yang melarutkan baik senyawa polar dan nonpolar dalam berbagai pelarut organik serta air. DMSO memiliki sifat yang unik yakni mampu menembus kulit  dengan sangat mudah, sehingga orang dapat mencicipinya segera setelah terjadi  kontak dengan kulit. DMSO memiliki rasa seperti  tiram atau bawang putih.
Senyawa ini pertama kali disintesis pada tahun 1866 oleh ilmuwan Rusia Alexander Zaytsev, yang melaporkan temuannya di tahun 1867. Sulfoxide Dimetil sebenarnya merupakan produk sampingan dari kraft pulping. Oxidation of dimethylsulfide with oxygen or nitrogen dioxide gives DMSO. Proses oksidasi dari Dimethylsulfide dengan oksigen atau nitrogen dioksida menghasilkan DMSO.
DMSO merupakan pelarut polar aprotic. DMSO bersifat kurang toksik jika dibandingkan dengan anggota lain dari kelasnya  seperti dimetilformamida , dimetilasetamida , N-metil-2-pirolidon , dan HMPA. Karena sifat pelarutnya yang sangat baik, DMSO sering digunakan sebagai pelarut untuk reaksi kimia yang melibatkan garam, terutama reaksi Finkelstein dan reaksi lain seperti substitusi nukleofilik . Selain itu, DMSO juga banyak digunakan sebagai ekstraktan dalam biokimia dan biologi sel. Karena titik didih tinggi, DMSO menguap perlahan pada tekanan atmosfer normal. Reaksi dilakukan dalam DMSO sering diencerkan dengan air untuk mengendapkan atau produk-fase terpisah.
DMSO digunakan dalam PCR untuk menghambat struktur sekunder dalam DNA template atau primer DNA. DMSO ditambahkan ke campuran PCR sebelum bereaksi, dimana DMSO akan membatu pembentukan komplemen DNA dan meminimalkan reaksi-reaksi yang mengganggu. Namun, penggunaan DMSO di PCR dapat meningkatkan tingkat mutasi. DMSO juga dapat digunakan sebagai cryoprotectant, yang ditambahkan ke media sel untuk mencegah kematian sel selama proses pembekuan Sekitar 10% dapat digunakan dengan metode freeze-lambat, dan sel dapat dibekukan pada -80 ° C atau disimpan dalam nitrogen cair dengan aman.
3. Proses Kering Beku
Cara ini juga disebut liofilisasi dan  merupakan yang terbaik dalam mengawetkan virus,  terutama bila sebelumnya suspensi virus tersebut mengandung 10% serum anak sapi. Virus yang sudah kering beku dapat disimpan dalam temperatur 4 C selama berbulan-bulan. Metode ini digunakan dalam penyimpanan vaksi aktif.

4. Proses Kering Beku
Cara ini juga disebut liofilisasi dan  merupakan yang terbaik dalam mengawetkan virus,  terutama bila sebelumnya suspensi virus tersebut mengandung 10% serum anak sapi. Virus yang sudah kering beku dapat disimpan dalam temperatur 4 C selama berbulan-bulan. Metode ini digunakan dalam penyimpanan vaksin aktif.


2.5 METODE LAIN UNTUK MENGINAKTIFKAN VIRUS

          Virus dapat menjadi inaktif oleh berbagai sebab antara lain: terhadap sterilisasi laboratorium, desinfektan permukaan atau kulit,membuat air minum yang aman dan memproduksi vaksin virus inaktif. Metode dan bahan kimia yang berbeda digunakan untuk keperluan ini.
A.   Sterilisasi : Tekanan uap,pemanasan kering,oksidasi ethylene,irradiasi sinar g.
B.   Disinfeksi permukaan : natrium hipoklorin, gluataraldehid, formaldehid,asam pirasetik.
C.   Disinfeksi kulit : Klorheksidin, ethanol 70%, iodophore
D.   Produksi vaksin : formaldehid,propiolakton b,psoralen+ irradiasi ultraviolet,deterjen (subunit vaksin).


















III.           PENUTUP

Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis. Dalam upaya mengurangi serangan penyakit karena virus perlu diberikan vaksin inaktif atau pemberian antivirus yang di buat dengan perlakuan laboratorium. Dasar dari pembuatan vaksin inaktif dengan perlakuan laboratorium adalah usaha untuk merusak kemampuan replikasi virus tetapi antigen yang berkaitan dengan penyebab penyakit masih terpelihara sifat antigeniknya. Sedangkan obat- obat antivirus yang aktif melawan virus dimana vaksin tidak tersedia atau tidak efektif disebabkan oleh keragaman serotipe (misalnya rhinovirus) atau karena perubahan virus yang terus menerus (misalnya influenza, HIV). Antivirus dibutuhkan untuk mengurangi morbiditas dan kerugian ekonomis yang disebabkan oleh infeksi virus.
Selain itu terdapat juga perlakuan-perlakuan untuk inaktivasi virus antara lain:dengan menggunakan agen fisika dan kimia (suhu, pH, radiasi sinar ultraviolet, desinfektan, inaktivasi fotodinamik, dlln.

DAFTAR PUSTAKA

Jawetz, Melnick, Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Salemba Medika
Suardana, Kade. 2009. Dasar-Dasar Diagnosis Penyakit Virus. Denpasar : Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Anonim, 2009. Aktivitas Virus Mematikan.        http://www.sharp-solar.com. 10 April  2010
Anonim, 2009. Virus. http://www.wikipedia.com. 10 April 2010
Anonim, 2008. Inaktivasi Virus. http://www.infovet.blogspot.com.  10 April 2009
Anonim, 2008. Vaksin Inaktif. http://www.kalbe.co.id. 10 April 2009